Order from us for quality, customized work in due time of your choice.
Dalam perjalanan kehidupan remaja, mereka seringkali berada dalam fase yang rentan dan penuh tantangan. Remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam lingkungan keluarga merupakan salah satu fenomena yang memerlukan perhatian serius. Kekerasan emosional, meskipun tidak meninggalkan luka fisik yang terlihat, dapat meninggalkan bekas yang dalam pada jiwa dan kesejahteraan psikologis remaja.
Keluarga, yang seharusnya menjadi tempat di mana remaja merasa aman dan didukung, dapat menjadi sumber kekerasan emosional yang merusak. Kekerasan emosional dalam keluarga dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti penindasan verbal, pengabaian, atau pengucilan emosional. Tindakan-tindakan ini dapat mengakibatkan perasaan rendah diri, kecemasan, depresi, dan bahkan trauma pada remaja yang mengalaminya.
Dinamika psikologis remaja yang mengalami kekerasan emosional dalam keluarga merupakan area studi yang menarik dan penting untuk dipahami lebih dalam. Bagaimana remaja memproses dan merespons kekerasan emosional, serta dampaknya terhadap perkembangan psikologis mereka, menjadi titik fokus yang krusial. Faktor-faktor seperti dukungan sosial, coping mechanisms, dan identitas diri dapat memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana remaja menghadapi tantangan ini.
PEMBAHASAN
A. Faktor – faktor yang menyebabkan perubahan psikologi pada remaja karena kekerasan emosional dalam keluarga
Masa transisi anak dari masa anak – anak ke masa dewasa. Pada masa ini terjadi proses aktualisasi diri yang melibatkan banyak pendekatan untuk memastikan identitas seseorang dipahami oleh orang lain . Menurut harlock (2008) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang sangat fluktuatif karena banyaknya perubahan yang terjadi, baik secara psikis maupun fisik. Ciri – ciri fisik seperti berat badan dan kepadatan tulang, serta fungsi organ seksual dan reproduksi, semuanya terpengaruh. Di sisi lain, secara psikologis remaja merasa tidak bisa impulsif seperti orang yang lebih tua. Namun permasalahan fisik dan psikis pada wanita masih belum memberikan dampak yang sama pada pria. Namun, ada faktor sosial lain yang berkontribusi terhadap kegagalan, sehingga menimbulkan frustrasi dan konflik langsung pada remaja.
Hubungan kekerasan emosional keluarga dengan perubahan psikologi remaja adalah sejumlah penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana kekerasan emosional dalam keluarga menyebabkan perubahan psikologi remaja. Kekerasan emosional adalah bentuk kekerasan nonfisik yang membahayakan keberfungsian kognitif, psikologis, dan fisiologis individu. Kekerasan emosional yang dilakukan orang tua dapat mempengaruhi proses pembentukan identitas anak sebagai salah satu tugas perkembangan remaja. Implikasi dari penelitian ini memberikan pemahaman bagi orang tua mengenai tindakan kekerasan emosional dalam keluarga dan dampaknya terhadap remaja, serta pentingnya mengembangkan hubungan keluarga yang baik untuk mendukung tumbuh kembang anak ke arah yang positif. terdapat hubungan antara kekerasan emosional pada anak dengan tren kenakalan remaja. Namun, ada juga remaja yang mengalami kekerasan secara emosional namun mereka dapat menerima perlakuan orang lain dan menuruti perilaku yang positif. hubungan kekerasan emosional keluarga dengan perubahan psikologi remaja adalah suatu hubungan yang kompleks dan memerlukan perhatian khusus.
Salah satu hukuman yang kadang tidak disadari oleh orang tua adalah menyalahkan anak dengan kalimat menyakiti hati dan perasaan anak. Kesalahan tersebut diulang-ulang hingga menyebutkan semua kekurangan anak. Kondisi inilah yang menjadi awal terjadinya kekerasan verbal pada anak. Pada kondisi yang lain ada juga orang tua yang berniat ingin mendisiplinkan anaknya, tetapi dengan cara yang keliru. Caranya dengan berteriak, menakut-nakuti hingga mengancam anak. Ketika anak mendapatkan perlakuan tersebut, maka semua itu akan tersimpan dalam ingatannya dan akan membentuk karakternya sehingga bisa menghambat perkembangan anak.
Fase remaja Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahaun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah. Masa remaja adalah masa peralihan atau masa transisi dari anak menuju masa dewasa. Pada masa ini begitu pesat mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik itu fisik maupun mental. Sehingga dapat dikelompokkan remaja terbagi dalam tahapan berikut ini:
• Pra Remaja (11 atau 12-13 atau 14 tahun) Pra remaja ini mempunyai masa yang sangat pendek, kurang lebih hanya satu tahun; untuk laki-laki usia 12 atau 13 tahun – 13 atau 14 tahun. Dikatakan juga fase ini adalah fase negatif, karena terlihat tingkah laku yang cenderung negatif. Fase yang sukar untuk hubungan komunikasi antara anak dengan orang tua. Perkembangan fungsi-fungsi tubuh juga terganggu karena mengalami perubahan-perubahan termasuk perubahan hormonal yang dapat menyebabkan perubahan suasana hati yang tak terduga. Remaja menunjukkan peningkatan reflektivenes tentang diri mereka yang berubah dan meningkat berkenaan dengan apa yang orang pikirkan tentang mereka. Seperti pertanyaan: Apa yang mereka pikirkan tentang aku ? Mengapa mereka menatapku? Bagaimana tampilan rambut aku? Apakah aku salah satu anak “keren”? dan lain lain.
• Remaja Awal (13 atau 14 tahun – 17 tahun)Pada fase ini perubahan-perubahan terjadi sangat pesat dan mencapai puncaknya. Ketidakseimbangan emosional dan ketidakstabilan dalam banyak hal terdapat pada usia ini. Ia mencari identitas diri karena masa ini, statusnya tidak jelas. Pola-pola hubungan sosial mulai berubah. Menyerupai orang dewasa muda, remaja sering merasa berhak untuk membuat keputusan sendiri. Pada masa perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol, pemikiran semakin logis, abstrak dan idealistis dan semakin banyak waktu diluangkan diluar keluarga.
• Remaja Lanjut (17-20 atau 21 tahun) Dirinya ingin menjadi pusat perhatian; ia ingin menonjolkan dirinya; caranya lain dengan remaja awal. Ia idealis, mempunyai cita-cita tinggi, bersemangat dan mempunyai energi yang besar. Ia berusaha memantapkana identitas diri, dan ingin mencapai ketidaktergantungan emosional.
Selanjutnya, fase remaja didahului oleh timbulnya harga diri yang kuat, ekspresi kegirangan, keberanian yang berlebihan. Karena itu mereka yang berada pada fase ini cenderung membuat keributan, kegaduhan yang sering mengganggu. Tendens untuk berada dalam suasana ribut dan berlebihan yang bersifat fisik, lebih banyak terdapat pada anak laki-laki. Pada anak perempuan tendens yang serupa manifesto dalam ekspresi judes, mudah marah dan merajuk. Kekuatan dan kehebatan fisik makin menjadi perhatian utama, sehingga banyak puber yang menginginkan untuk menjadi bintang pembalap yang dipuja dan dihargai. Pada wanita keinginan untuk mendapat penghargaan dan perhatian ini manifest dalam tendens dandanan yang berlebihan. Mereka mudah terperosok dalam suasana persaingan. Itulah gambaran remaja. Kembali pada fase ini remaja ambisinya meninggi, sering tidak realitis, dan pemikirannya terlalu muluk. Sensifitasnya terhadap penilaian orang lain sangat meninggi, sehingga ucapan-ucapnnya yang biasanya ’biasa’, pada fase tersebut menjadi terasa menyakitkan atau menyedihkan.
Masa remaja digambarkan sebagai masa badai dan stres, ditandai dengan ketidakseimbangan atau kurangnya kestabilan emosi dan mental , sehingga membuat mereka mudah gelisah , tidak menentu, dan tidak responsif. Ini merupakan masa transisi dimana diperlukan penyesuaian diri dari usia bayi menuju usia dewasa . Pada era ini , kemungkinan besar akan tiba masa kritis ketika perilaku menyimpang akan semakin nyata . Dalam situasi saat ini , perilaku menyimpang akan berjalan lebih lambat dan berubah menjadi perilaku yang memperparah bentuk agresif lainnya misal merusak dan menindas (Novitasari, 2010).
Remaja dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul akan menimbulkan kepanjangan konflik ; ketidakmampuan yang dapat menimbulkan frustasi dan timbulnya dampak buruk, jenis ekspresi emosional yang diungkapkan melalui ucapan verbal dan nonverbal, tawuran, berdoa, menyiksa, dan sampai menghilangkan nyawa, sebagaimana kenakalan remaja di media masa. Hal ini semakin mempersulit mereka untuk melakukan pekerjaan yang bermakna (Trisnawati , 2014 ) .
Dalam terjadinya perilaku agresif pada anak ada yang bersifat internal (di dalam tubuh ) dan eksternal (di luar ). Faktor internal yang dimaksud diwakili oleh rasa frustrasi, gangguan berpikir dan kecerdasan pada remaja , serta gangguan perasaan /emosional pada remaja , sedangkan faktor eksternal diwakili oleh keluarga atau teman sebaya , faktor sekolah, dan faktor lingkungan (Kartono , 2011).
Pada masa transisi ini , anak perempuan akan mengalami beberapa perubahan yang ditandai dengan perubahan fisik, psikologis, dan emosional ; keinginan untuk percaya diri dan memiliki harga diri ; keinginan yang kuat untuk memahami diri sendiri; pencarian dan penemuan identitas dan harga diri mereka sendiri ; terbentuknya ikatan yang erat dengan teman sekelasnya ; dan seterusnya . Hal ini menunjukkan bahwa masa remaja merupakan masa dimana harga diri sedang berkembang . Di zaman sekarang ini , remaja akan mengkaji dan mengembangkan kualitas -kualitas dalam diri mereka yang mungkin menentukan apakah mereka memiliki harga diri yang positif atau negatif ( Kamila & Mukhlis, 2013). Harga diri merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan sehari – hari karena merupakan salah satu faktor yang harus ditumbuhkan agar seseorang menjadi dewasa dan kuat diri yang disebut dengan harga diri merupakan cerminan diri yang dilakukan seseorang terhadap dirinya berdasarkan hubungannya dengan orang tersebut.
Individu dengan harga diri yang tinggi harga diricenderung optimis , mampu memecahkan masalah , dan mengenali hasil positif dan negatif lebih cenderung optimis , mampu memecahkan masalah dan mengenali hasil positif dan negatif . Harga diri dapat mengembangkan penilaian dan kesadaran diri yang akurat , bahkan tanpa mendapatkan umpan balik negatif dari orang lain. Apapun yang mereka lakukan harus memberikan dampak positif kepada orang lain tanpa merugikan mereka. Di sisi lain , anak perempuan dengan harga diri rendah selalu mengolok – olok kemampuan orang lain , tidak pernah memahami keterbatasannya , danmemenuhikeinginan (Reskiani, 2021).
Coopersmith (1967), berpendapat bahwa ada beberapa aspek pada self-esteem, yaitu
• Kekuasaan, merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain daripada mengontrol dirinya sendiri.
• Keberartian, perhatian dan kepedulian yang dapat di terima seseorang dari pihak lain.
• Kebijakan, yaitu kepatuhan yang dimiliki seseorang terhadap aturan/norma yang ada di masyarakat
• Kemampuan, yakni seseorang yang sukses memenuhi keterampilan yang diperoleh dari keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan sesuatu dengan baik.
• Proses pertumbuhan dan perkembangan, proses proses transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dikenal masa remaja. Melalui suatu proses untuk menyesuaikan diri dengan perubahan fisik , kognitif , dan sosial pada masa transisi dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan (Sarwono 2013). Anak perlu memahami perasaan orang – orang di lingkungan terdekatnya terhadapnya . Oleh karena itu, melalui sosialisasi yang menjamin persepsi seseorang terhadap dirinya sebagai orang yang jujur dan bijaksana, seorang remaja akan merasa berdaya untuk memiliki kesadaran terhadap lingkungan dan sekitarnya (Nujanah, 2018).
Lingkungan terdekat seorang remaja adalah masyarakat sekitar Tingkat keluarga yang baik akan menciptakan rasa aman, yang setelahnya memungkinkan remaja untuk memperoleh bekal diri yang baik. Sebaliknya jika masyarakat masyarakat sekitar secara konsisten menggunakannya secara konsisten menggunakan bahasa yang bersifat menghina, menyinggung, atau tidak sopan maka akan menimbulkan dampak negatif terhadap harga diri individu di masa remaja. Faktor yang berkontribusi terhadap pelecehan verbal yang dialami orang adalah pengetahuan, hubungan interpersonal , ekonomi , dan lingkungan.
Kekerasan dalam keluarga pastinya meninggalkan dampak pada siapapun yang pernah mengalaminya, terutama pada anak-anak. Hal ini bisa menimbulkan berbagai dampak yang beragam hingga trauma yang mempengaruhi psikologi, emosional, dan lainlain. Dampak atau trauma yang terjadi pada anak-anak karena pernah mengalami kekerasan dalam keluarga akan sangat rumit karena hal ini bisa mempengaruhinya hingga dia dewasa. Hal ini tentu saja akan memberikan banyak pengaruh negatif terhadap stabilitas hidupnya. Anak yang tinggal dalam kondisi mengalami kekerasan dalam rumah tangga umumnya akan mengalami trauma emosi dan psikologi sebagai dampak dari perasaan takut yang tinggi selama berada di rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan aman baginya dan kedua orang tuanya terbalik menjadi tempat yang menakutkan bagi dirinya.
Anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumahnya umumnya memang memiliki masalah perilaku, somatik atau emosional yang serupa dengan yang dialami akibat dari trauma masa kecilnya. Trauma psikis juga bisa dialami anak yang tidak langsung mengalami kekerasan pada dirinya, seperti misalnya ia hanya menyaksikan dan mendengarkan ibu atau ayahnya melempar-lempar barang dan benda, atau melihat hewan peliharaannya disakiti, dan bentuk respon yang nantinya akan menjadi trauma bisa beragam seperti ketakutan, cemas, atau repons lain tergantung pemaknaan si anak.
Segala bentuk ataupun jenis kekerasan yang terjadi dalam keluarga adalah suatu tindakan yang melanggar hukum dan tertera dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai perlindungan anak yang kemudian diubah UU Nomor 35 tahun 2014 dan UU Nomor 23 Tahun 2004 mengenai penghapusan segala jenis kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan terhadap anak akan diberikan hukuman yaitu berupa hukuman pidana atau hukuman denda. Hal ini tergantung kepada tingkat kekerasan yang dilakukan oleh pelaku (Brigitta Erlita, 2007).
Bentuk perlakuan salah terhadap anak ke dalam beberapa kategori, yaitu penganiayaan fisik, kelalaian, penganiayaan emosional, penganiayaan seksual, dan sindrom munchusan. Kekerasan verbal pada anak digolongkan dalam penganiayaan emosional. Penganiayaan emosional ini ditandai dengan kata-kata yang merendahkan anak. Kondisi ini biasanya berlanjut dengan melalaikan anak, mengisolasi anak dari hubungan sosialnya, atau menyalahkan anak secara terus menerus. Sementara Azevado & Viviane mengemukakan bahwa kekerasan verbal termasuk kategori kekerasan psikologis pada klasifikasi penghinaan atau humiliation (Maknun, 2017). Penghinaan yang dimaksud adalah menghina, mengejek, menyebut nama-nama yang tidak pantas,membuat anak merasa kekanak-kanakan, menentang identitas anak, martabat dan harga diri anak, mempermalukan, dan sebagainya.
Beberapa bentuk-bentuk kekerasan yang banyak seperti kekerasan verbal, seksual, dan fisik. Jenis kekerasan yang paling umum dialami jenis yang paling umum adalah kekerasan verbal. Kekerasan yang dialami remaja adalah kekerasan verbal (Devi Juniawati & Zaly, 2021). Untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum, adalah penentaran termasuk ancaman untuk mengatakan kematian atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Verbal abuse atau biasa disebut emotional child abuse adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan. Verbal abuse terjadi ketika orang tua menyuruh anak untuk diam atau jangan menangis. Jika anak mulai bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti “kamu bodoh”. “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”. Anak akan mengingat itu semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode (Fitriana, Pratiwi, & Sutanto,2015).
Terdapat 5 faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan secara verbal terhadap anak yakni
• Faktor pengetahuan, dimana masih banyak para orang tua yang kurang memahami kekerasan emosional lebih berbahaya daripada kekerasan secara fisik.
• Faktor pengalaman, mayoritas orang tua memiliki pengalaman yang sama selama turun menurun seperti meniru cara mendidik seperti keluarga-keluarga sebelumnya.
• Faktor kemiskinan, beberapa orang tua yang memiliki kesulitan dalam perekonomian cenderung lebih keras cara mendidik anak-anaknya. Sehingga sering terjadi masalah gangguan mental terhadap anaknya.
Pada hasil penelitian yang dilakukanoleh Farhan Zahara, Suharta Dede dan Ratnasari Devi (2018) dalam jurnal “..” Didapatkan simpulan bahwa faktor pengalaman merupakan faktor yang paling dominan dalam melatarbelakangi orang tua melakukan kekerasan emosional pada anak remaja, sehingga anak yang mendapat perlakuan demikian akan menciptakan pribadi yang agresif.
Menurut Inu Wicaksono (2008) kekerasan dalam rumah tangga atau keluarga adalah Perilaku melukai dan menyakiti secara fisik dan emosional yang menyebabkan rasa sakit dan stres yang tidak diinginkan oleh pihak yang dirugikan dalam keluarga antara pasangan suami dan istri, anak atau anggota keluarga lainnya, atau orang yang tinggal serumah. Secara umum bisa kita simpulkan faktor terjadinya kekerasan dalam keluarga dapat digolongkan kepada dua faktor. Faktor yang pertama yaitu Faktor eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor-faktor dari luar diri si pelaku kekerasan. Seorang pelaku yang awalnya mempunyai sifat yang normal ataupun tidak mempunyai tingkah laku yang mudah agresif bisa saja mampu melakukan kekerasan apabila dia dalam situasi dibawah tekanan atau stres. Contohnya seperti dalam keadaan kesulitan secara ekonomi yang sudah tidak bisa dia tahan lagi atau kasus perselingkuhan serta kejadian lainnya. Kemudian faktor yang kedua adalah faktor internal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri pelaku itu sendiri atau bisa kita sebut kepribadiannya yang membuat pelaku sangat untuk terprovokasi melakukan kekerasan, walaupun masalah yang sedang ia hadapi tersebut masih dalam skala kecil. Faktor yang telah disebutkan tadi bisa membuat pengaruh yang negatif baik untuk pelaku maupun korban yang mengalami kekerasan berupa fisik ataupun verbal.
Kekerasan yang terjadi bisa saja menimbulkan dampak yang negatif baik bagi anak yang mengalaminya maupun pelaku kekerasan tersebut. Namun terlepas apapun alasannya, kekerasan tidak bisa dibenarkan. Dan jika dampak negatif yang ditimbulkan terjadi kepada kedua belah pihak tetap saja yang mendapatkan dampak paling besar adalah si anak sebagai korban yang mengalami kekerasan tersebut. Dan hal ini adalah hal yang sangat serius mengingat dampak dari kekerasan sangat beragam dan sangat mengancam fisik dan mental seorang anak yang belum tentu bisa hilang dan bisa membekas hingga ia dewasa.
Tingkat kekerasan pada anak di Indonesia saat ini cukup tinggi. Berdasarkan data kasus perlindungan anak dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) pada tahun 2019 , terdapat 4.368 kasus kekerasan terhadap anak dengan tingkat kekerasan . jenis kerasan meliputi tindakan-tindakan yang tak lazim dilakukan , seperti halnya memukul, membentak, bahkan sampai mengancam untuk membunuh sang anak (Susanti,2018).
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan pada anak merupakan suatu tindakan penganiayaan l terhadap anak baik menyakiti secara fisik maupun verbal serta lalai terhadap tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk melindungi dalam segala hal yang membahayakan kesehatan dan kelangsungan hidupnya.
Terdapat beberapa bentuk kekerasan terhadap anak diusia remaja diantaranya:
• kekerasan fisik (Physical Abuse) yaitu pada saat orang tua melakukan kekerasan terhadap anaknya, padahal anak tersebut membutuhkan perlindungan serta perhatian kepada orang tuanya. Kekerasan yang diberikan orang tuanya tersebut akan selalu terekam jelas oleh si anak jika kekerasan fisik tersebut berlangsug dalam periode waktu tertentu yang bahkan memicu cedera yang serius pada anak baik secara fisik maupun psikisnya. Akibatnya, anak akan selalu merasa tertekan, ketakutan dan selalu menjauhkan diri dari orang-orang terdekatnya, sulit untuk berbaur dengan sesamanya karena ia merasa dalam lingkup yang tidak aman.
• Kekerasan verbal (Verbal Abuse) yaitu pelaku melakukan interaksi yang menghina, melecehkan, bahkan melabeli si anak sehingga mengakibatkan anak tersebut kehilangan kepercayaan dirinya dan selalu menyalahkan dirinya dalam kondisi apapun.
• Kekerasan emosional (Emotional Abuse) yaitu penindasan emosi oleh orang tua atau pengasuhnya terhadap anak, padahal anak tersebut ingin diberi kasih sayang dan perhatian yang cukup akan tetapi orang tuanya pun tak peduli sehingga si anak terabaikan. Hal tersebut akan selalu di ingat oleh memori anak jika kejadian tersebut berlangsung secara terus menerus (Apriana 2015).
Kekerasan verbal merupakan perilaku yang bersifat mencemooh dan menyampaikan kata-kata yang tak pantas untuk di katakan kepada seorang anak, sehingga menimbulkan efek emosional yang merugikan. Apalagi jikalau anak menerima kekerasan tersebut secara terus-menerus, dapat dipastikan anak tersebut mengalami perubahan tindakan-tindakan yang bahkan dapat menghancurkan kepercayaan diri pada anak tersebut. Kekerasan emosional yang di lakukan oleh orang tua lebih memprihatinkan dampaknya daripada pemerkosaan. Serta dengan ucapan yang tak pantas terhadap anak dari orang tua, akan menciptakan labeling kepada si anak sehingga ia akan selalu menyalahkan dirinya dalam kondisi apapun (Wulandari & Nurwati, 2018).
Berdasarkan latar belakang tersebut remaja akan mengarah kepercayaan diri yang negatif, dikarenakan perbuatan orang tuanya berupa kekerasan secara emosional dan tidak menutup kemungkinan bahwasannya si anak akan mengalami trauma yang mendalam. Trauma pada umumnya merupakan tekanan pada emosional dan psikologis akibat dari kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan atau pengalaman yang berkaitan dengan kekerasan dan menimbulkan stress yang berlebihan (Irwanto dan Kumala, 2020).
Dampak yang akan ditimbulkan dari kekerasan secara emosional pada anak usia remaja diantaranya :
• anak akan mengalami kecemasan. bagaimana tidak, psikis yang ia peroleh sudah tergores karena kekerasan yang di lakukan oleh orang terdekatnya bahkan seseorang yang ia percaya dalam kehidupannya.
• anak akan selalu merasa bahwa dia salah dan anak akan kehilangan kepercayaan diri baik pada dirinya sendiri ataupun kepercayaan pada orang lain. Ia akan merasa mengapa ia dilahirkan jikalau hanya akan mendapatkan tamparan begitu keras dalam kehidupannya. Anak tersebut bahkan bagai jiwa yang tak memiliki kepercayaan diri karena begitu banyak cemooh yang ia terima dari orang-orang terdekatnya (Aleissa et al., 2021).
Hal tersebut memberikan pengaruh yang sangat buruk kepada anak terutama pada perkembangan psikologisnya, karena anak akan sering merasa tidak nyaman kepada orang lain dan tidak berani untuk melakukan sesuatu yang diinginkan. Kemampuan anak untuk belajar dari teman sebayanya atau bahkan lingkungan tempat ia dibesarkan mempunyai dampak yang signifikan terhadap pembelajarannya di masa depan. Anak sering mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dan juga merasa tidak mampu melakukan apa yang ingin dilakukannya , dan tidak memberitahu orang lain kemampuan yang dia miliki dalam dirinya (Hastuti, 2016).
Melansir hasil penelitian dan uji hipotesis yang telah dilakukan mengenai Pengaruh antara Kekerasan Verbal dengan Self-esteem remaja akhir di Kota Bekasi bahwasannya
1. Terdapat hubungan dengan arah negatif anatara kekerasan verbal dengan selfesteem. Hal ini dapat ditemukan melalui skor yang rendah pada kekerasan verbal dan skor yang tinggi pada self-esteem.
2. Terdapat pengaruh yang signifikan antara kekeraan verbal terhadap self-esteem. Berdasarkan uji kategorisasi pada remaja akhir di Kota Bekasi sebagian besar berada pada tingkat kekerasan verbal yang rendah dan tingkat self-esteem yang tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa semakin rendah kekerasan verbal, maka akan semakin tinggi self-esteem dan sebaliknya semakin tinggi kekerasan verbal, maka akan semakin rendah selfesteem.
Dampak dari kekerasan terhadap perubahan psikologi anak
• Dampak atau trauma dari kekerasan tersebut sangat beragam dan berbeda-beda tergantung dari pemikiran si anak yang mengartikan mengenai peristiwa tersebut. Hal ini biasanya akan dimulai dari munculnya ketakutan ataupun cemas kalau nanti dia akan mengulangi kejadian tidak menyenangkan tersebut, lalu menolak dan takut jika berdekatan dengan orang tertentu, bahkan bisa saja benda tertentu yang terkait dengan kejadian yang pernah dialaminya. Contohnya, ketika seorang anak mendapatkan kekerasan yang dilakukan oleh gurunya sendiri di Sekolah, ada anak yang merespon dengan takut hanya kepada guru tersebut, tetapi ada juga anak yang mempunyai respon dengan memandang bahwa semua guru itu menakutkan akibat kejadian yang dialaminya itu.
• Dampak dari kekerasan yang terjadi di dalam keluarga bagi anak akan mempengaruhi pertumbuhan regulasi emosinya. Contohnya seorang anak yang kehilangan kemampuan untuk menenangkan dirinya sendiri agar menghindari kejadian yang bersifat provokatif serta stimulus yang memicu rasa sedih dan juga menahan diri dari perilaku kasar yang dipicu oleh emosi yang tidak bisa dikendalikan. Dan membahas mengenai dampak dari kekerasan yang terjadi dalam keluarga dengan lebih jelas dan kompleks bisa kita simpulkan dari berbagai dampak yang bisa timbul yaitu, yang pertama adalah luka fisik. Kekerasan yang terjadi dalam keluarga sangat beragam dan berbeda-beda, ada yang hanya sebatas kekerasan perkataan dan hal lain yang tidak menyangkut fisik dan juga sampai yang paling parah adalah menyangkut fisik. Dan dampak terhadap kekerasan fisik juga sangat beragam. Dampak dari mengalami kekerasan fisik biasanaya seperti memar, gemetar tanpa sadar, mengalami tegang otot, dan masih banyak lagi hingga yang paling parah seperti patah tulang dan lainnya.
• Dampak yang kedua adalah trauma baik secara psikologi maupun emosional. Bukan hal yang aneh tentunya bagi siapapun yang mengalami kekerasan akan sangat mungkin sekali mengalami trauma baik secara psikologi maupun emosional terlebih lagi kekerasan yang terjadi dilakukan oleh keluarga mereka sendiri. Hal ini tentu saja memberikan dampak tersendiri karena keluarga yang seharusnya menjadi orang terdekat yang saling melindungi tetapi malah sebaliknya. Bisa kita bayangkan juga dampaknya bagi seorang anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga. Yang mana mereka seharusnya mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari keluarganya namun malah mendapatkan kekerasan dan sangat mungkin dampak ini akan ia rasakan hingga ia dewasa. Dampak yang ketiga yaitu, mengalami depresi. Anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga baik itu secara langsung atau hanya melihat ataupun mendengarkan akan sangat rentan mengalami depresi atapun stres yang berlebihan. Hal inipun bisa saja ia alami hingga ia dewasa.
• Dampak yang keempat yaitu terciptanya perilaku yang tidak normal atau ketidaknormalan psikologi dan bisa sampai terciptanya pribadi seorang psikopat. psikopat ialah suatu sebutan lain dari anti sosial atau gangguan kepribadian. psikopat nyatanya berlatar belakang karena kejahatan ataupun kekerasan yang dialami psikopat tersebut. Psikopati merupakan suatu sindrom yang terdiri dari konstelasi yang muncul secara interpersonal, atauun afektif, dan juga merupakan ciri dari tingkah laku serta pola hidup yang ekstrem. Adanya pengaruh yang sangat kuat dari lingkungan yang dominan terhadap tumbuhnya pribadi psikopat seseorang yang kurang mendapatkan perhatian tetapi malah mendapatkan pola asuh yang penuh dengan hukuman serta kekerasan baik fisik maupun mental akan memadamkan rasa empati yang dimiliki anak.
• Sementara itu dari beberapa kasus kekerasan terhadap anak lainnya dan menimbulkan dampak perilaku yang tidak wajar dan ditemui juga di beberapa kasus kekerasan di Indonesia yaitu seperti mencuri, berkelahi, berbohong, hingga melakukan bulying. Hal ini biasanya dikarenakan si anak mencari subjek pelampiasannya terhadap kekerasan yang dialaminya. Dampak dari trauma yang dirasakan si anak dari akibat kekerasan yang ia terima adalah terulangnya tindak kekerasan seperti yang ia alami, dan termasuk bisa terjadi di lingkup sekolah (Hadi Supene, 2010). Karena adanya ketidakteraturan perhatian yang diberikan orang tua, ataupun kejadian lampau contohnya peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh orang tua.
Tingkatan kekerasan verbal ada tinggi, sedang dan rendah. Verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua tinggi, dilihat dari beberapa bentuk kekerasan verbal seperti membentak dan memaki. Responden dengan verbal abuse yang tinggi menyatakan bahwa saat orang tua marah akan mengeluarkan kata-kata kasar. Kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua pada anak berkaitan dengan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai pola asuh yang benar kepada anaknya (Soetjiningsih, 2014). Sejalan dengan hasil penelitian dari Fadillah (2022) bahwa perilaku kekerasan verbal dipengaruhi secara langsung oleh pola asuh orang tua. Meningkatnya pola asuh akan mengakibatkan penurunan pada perilaku kekerasan verbal. Anak yang dididik dengan kasih sayang dan pola asuh yang benar bisa membuat perkembangan psikologis anak tumbuh lebih baik. Sebaliknya orang tua yang mendidik anak dengan penuh kemarahan akan menimbulkan energi negatif. Anak yang terbiasa dibentak akan membuatnya menjadi depresi, trauma, pendiam dan kepercayaan diri menurun.
Tingkat kekerasan verbal sedang. Hal ini didapatkan dari pernyataan responden yang termasuk dalam salah satu bentuk verbal abuse yaitu mengecilkan atau melecehkan kemampuan. Responden dengan tingkat kekerasan verbal sedang menyatakan bahwa orang tua tidak memperbolehkan untuk membantah pembicaraannya dan orang tua akan selalu menganggap dirinya benar. Orang tua akan menganggap wajar melakukan kekerasan pada anak mereka. Hal ini dianggap untuk mendisiplinkan anak dengan mengontrol dan memberikan hukuman kepada mereka. Namun hukuman yang orang tua berikan dapat dimasukan dalam kategori kekerasan, salah satunya adalah kekerasan secara verbal (Lestari, 2016). Kekerasan verbal yang orang tua lakukan sering dianggap sebagai perlakuan yang biasa. Bentakan, cacian dan makian yang terlontar kepada anak dianggap sebagai tindakan yang sepele dan merupakan bentuk teguran semata. Kekerasan verbal yang dilakukan orang tua ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (Ramadhani, 2021).
Tingkat kekerasan verbal rendah. Kekerasan verbal rendah didapatkan dari pernyataan responden yang menyatakan bahwa orang tua tidak menolak kehadirannya dan tidak mengatakan dirinya sebagai anak yang tidak tau diri. Orang tua yang menerima keadaan anaknya, akan memberikan perasaan dihargai, dilindungi, dan didukung oleh orang tuanya. Hal ini akan membantu dalam pembentukan kepribadian anak yang prososial, percaya diri, mandiri dan peduli terhadap lingkungannya (Ngewa, 2019). Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Samsudin (2019) ditemukan bahwa orang tua memiliki peran yang penting dalam membentuk kepribadian seorang anak. Kepribadian seorang anak tergantung pada bagaimana orang tua menerima dan mendidik anak sejak kecil. Jika orang tua mampu melakukan peran sebagai orang tua dengan baik , anak akan memiliki kepribadian dan karakter yang baik. Kepribadian seorang anak yang baik dihasilkan dari anak-anak yang hidup dipengasuhan pola komunikasi yang efektif. Komunikasi intens dalam keluarga terutama yang dilakukan oleh orang tua pada anaknya dapat membantu keefektifan hubungan psikologis antara orang tua dengan anak (Rahmah, 2019). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Choirunissa (2020) bahwa komunikasi interpersonal yang efektif antara orang tua dan anak remaja dapat menciptakan hubungan yang saling menghargai. Melalui proses komunikasi ini, orang tua akan belajar untuk bersikap terbuka dalam menyampaikan pandangan mereka.
Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Nova (2021), kekerasan verbal yang dilakukan orang tua akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari anak, terutama untuk anak yang sedang berada pada fase remaja. Pada masa remaja anak akan mulai membentuk karakternya, seperti sulit untuk diatur, ingin mendapatkan kebebasan dan memiliki keingintahuan yang tinggi. Orang tua yang merasa wajar untuk melakukan kekerasan verbal pada anak tanpa berpikir akan dampak yang terjadi dapat men
Order from us for quality, customized work in due time of your choice.